Rabu, 06 Mei 2009

Obat Flu Aman Dikonsumsi

Obat flu serta batuk yang mengandung phenylpropanolamine (PPA) dan sudah mendapat izin edar, aman dikonsumsi jika digunakan sesuai aturan pemakaian. Dengan demikian, masyarakat tidak perlu khawatir mengonsumsi obat tersebut.

Demikian dikatakan Kepala Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan (BBPOM) Bandung Agus Prabowo, saat dihubungi "PR", Kamis (23/4). Agus dimintai pendapatnya, terkait berita bahwa Badan Pengawas Obat dan Pangan Amerika (US-FDA) sejak 1 Maret 2009 menarik dari peredaran obat flu serta batuk yang mengandung PPA. Sebab, PPA terbukti menyebabkan perdarahan di otak.

Sejak beredarnya berita tersebut, tidak sedikit masyarakat yang ketakutan mengonsumsi obat flu dan batuk mengandung PPA. Padahal, obat-obatan tersebut banyak beredar di pasaran dalam berbagai merek dan bentuk serta bisa dibeli tanpa resep dokter.

Bahkan, sekitar dua puluh warga Kota Bandung menanyakan kepada Unit Layanan Pengaduan Konsumen (ULPK) Obat dan Makanan BBPOM di Bandung, tentang benar tidaknya PPA yang terkandung dalam obat flu serta batuk bisa menyebabkan perdarahan otak. "Jadi, obat yang sudah mendapat izin edar atau sudah terdaftar aman dikonsumsi, asal dipakai sesuai aturan. Apalagi, beredarnya obat di pasaran sudah melalui serangkaian pengujian dan pengkajian Badan POM," katanya.

PPA yang terkandung dalam obat flu dan batuk, ujar Agus, aman dikomsumsi jika digunakan dengan dosis sekitar enam puluh miligram per hari untuk orang dewasa. Sedangkan untuk anak-anak, dosisnya lebih rendah. "Biasanya untuk sekali pakai, PPA yang digunakan sekitar lima belas miligram. Jika dipakai sesuai aturan, misalnya tiga kali sehari satu tablet, maka aman dipakai," ujarnya.

Saat sakit

Selain itu, kata Agus, masyarakat mengonsumsi obat tersebut hanya saat sakit flu dan batuk. Mereka tidak akan terus-menerus mengonsumsinya, sehingga tidak menimbulkan efek samping. "Masyarakat jangan mudah terpengaruh isu-isu tidak jelas. Misalnya informasi melalui SMS atau e-mail, yang tidak jelas siapa pengirimnya," ujarnya.

Menurut Agus, berdasarkan informasi yang diperolehnya dari Badan POM, tidak benar bahwa 1 Maret 2009 US-FDA telah mengeluarkan pengumuman tentang obat flu dan batuk, yang mengandung PPA.

"Saat ini, tidak ada informasi baru terkait keamanan PPA. Pada November 2000, US-FDA memang telah menarik obat yang mengandung PPA, karena diduga ada hubungan antara perdarahan otak dengan penggunaan PPA dalam dosis besar sebagai obat pelangsing. Di Indonesia, PPA hanya disetujui sebagai obat untuk menghilangkan gejala hidung tersumbat dalam obat flu dan batuk serta tidak pernah disetujui sebagai obat pelangsing," katanya.

Berdasarkan informasi dari Buku Katalog Kartu Obat dan Nafza ULPK Badan POM 2007, yang perlu diperhatikan dari penggunaan obat flu dan yang mengandung PPA adalah tidak boleh melebihi dosis yang dianjurkan. PPA cukup aman dikomsumsi, jika digunakan dengan dosis di bawah enam puluh miligram per hari untuk dewasa.

WHO Tak Konsisten, Menkes Pertanyakan Fase Penularan Flu Babi

Menteri Kesehatan Siti Fadilah Supari mempertanyakan sikap Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) yang tidak konsisten terkait penetapan fase penularan virus H1N1 atau yang biasa disebut flu babi (swine flu).

"WHO justru menurunkan status fase penularan virus H1N1 (flu babi) menjadi fase empat, yaitu penularan virus ke manusia masih dalam kelompok kecil, padahal seharusnya sudah fase lima," kata Siti Fadilah Supari dalam jumpa pers di Gedung Depkes, Selasa (28/4).

Ia menyesalkan ketidakkonsistenan WHO dengan sikapnya yang meminta untuk menutup sekolah, rumah makan, dan melarang masyarakat menonton pertandingan sepak bola. "Ini ada apa saya tidak tahu dan menurut saya sudah aneh. Hari ini (WHO) menurunkan menjadi fase 4, ini adalah tanda tanya besar. Karena sudah tidak konsisten dengan sikapnya beberapa waktu lalu," ujar Siti.

Menurutnya, fase penularan virus H1N1 sudah sampai pada fase 5, yaitu infeksi virus kepada manusia dengan penularan yang semakin meluas. Hal ini ditegaskan dengan tingginya jumlah kematian akibat terinfeksi virus H1N1 yang mencapai 149 orang di Meksiko.

Namun, Siti enggan berkomentar soal dugaan kesengajaan terkait munculnya virus H1N1 ini. "Apakah disengaja atau tidak, saya tidak bisa katakan. Tapi kemungkinan-kemungkinan apa pun kan bisa terjadi," jelasnya.

Siti menegaskan, virus tersebut dipastikan tidak bisa menyerang Indonesia dengan kondisi suhu yang tropis. Menurutnya, virus H1N1 hanya berkembang di negara dengan empat musim seperti Meksiko. Namun, ketika disinggung bahwa Meksiko juga memiliki daerah yang bersuhu tropis seperti Indonesia, Siti enggan menjelaskan."Saya tidak tahu kalau H1N1 bisa (berkembang) di musim tropis, kalau sudah berubah berarti dia sudah bermutasi," jawabnya.

Depkes telah menyiapkan beberapa langkah antisipasi, seperti memasang 10 thermal scanner untuk mendeteksi suhu badan di terminal kedatangan 10 bandara internasional di Indonesia. Tetapi menyangkut travel warning ke negara-negara yang terjangkit, Indonesia masih belum mengeluarkan, hanya travel adviser saja

Flu Babi Berpotensi Berkembang di Indonesia

Flu babi yang menular ke manusia berpotensi berkembang di Indonesia. Namun, hampir dapat dipastikan keganasan flu babi Meksiko di bawah flu unggas yang telah mewabah di Indonesia.

Kepala Laboratorium Flu Unggas Universitas Airlangga CA Nidom mengatakan, flu babi sebenarnya sudah lazim. Penyakit dengan virus H1N1 di Indonesia sudah ada sejak dulu. Subtipe di Indonesia atau H1N1 klasik tidak berbahaya. "H1N1 tipe Meksiko yang dikenal sebagai flu babi sekarang inilah yang berbahaya," katanya di Surabaya, Selasa (28/4).

Berdasarkan riset Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Amerika Serikat, H1N1 tipe Meksiko diduga kuat gabungan flu unggas, flu babi, dan flu manusia. Virus kemungkinan berubah di tubuh babi.

"Sejak 2005, saya sudah melontarkan hipotesis ini. Saya sudah khawatir ini bakal terjadi. Akhir tahun lalu saya kembali mengingatkan potensi bahaya ini. Namun, sebagian kalangan masih menentang," ujarnya.

Virus yang berubah di tubuh babi lebih mungkin menular ke manusia. Pasalnya, manusia dan babi sama-sama mamalia yang cenderung memiliki kesamaan. Sebaliknya, flu unggas tidak bisa langsung ke manusia.

"Secara teoretis, virus di unggas tidak bisa langsung ke mamalia seperti manusia. Harus ada perantara mamalia lain dan itu kemungkinan besar babi," katanya.

Di tubuh babi, virus mengalami perubahan dengan dua pola. Pola pertama berupa adaptasi. "Kalau ini terjadi, dampaknya tidak terlalu berbahaya karena tidak ada perubahan struktur virus," ujarnya.

Pola kedua berupa penyusunan ulang virus. Berdasarkan pola ini, virus bisa berkembang menjadi gabungan flu babi, flu unggas, dan flu manusia. "Jika menyimak penjelasan di AS, ada kemungkinan reassortan (penyusunan ulang)," ujarnya.

Jika hal itu terjadi, tidak tertutup kemungkinan flu babi bisa berkembang di Indonesia. Salah satu pendukungnya adalah banyaknya peternakan ayam dan babi yang berdekatan. "Sejak flu unggas merebak, saya sudah mengemukakan pentingnya menata ulang peternakan," tuturnya.

Namun, di sisi lain, keganasan H1N1 tipe Meksiko tidak seperti H5N1. Dari sekitar 1.500 kasus di seluruh dunia, baru 150 berakhir dengan kematian. "Virus ini cepat menyebar, tetapi daya rusaknya rendah. Sebaliknya H5N1 lambat menyebar. Namun, daya rusaknya amat tinggi," ujarnya.

Kurang dari sebulan, H1N1 tipe Meksiko sudah menjangkiti ribuan orang. Sementara dalam tiga tahun, kasus H5N1 hanya tercatat sekitar 300 kasus di seluruh dunia. "Saya khawatir kalau hasil penyusunan ulang menghasilkan virus cepat menular dan daya rusaknya tinggi. Syukur sejauh ini belum menunjukkan tanda ke sana," ujar Nidom.