Kamis, 10 Juli 2008

Iklim perburuk derajat kesehatan masyarakat

PEMANASAN global (global warming) yang semakin dirasakan masyarakat, terjadi karena bumi menyerap lebih banyak energi matahari daripada yang dilepas kembali ke atmosfer (ruang angkasa). Sehingga sinar matahari terperangkap yang menyebabkan terjadinya peningkatan emisi gas. Hal ini akan menimbulkan peningkatan panas bumi dan pencairan kutub es.

Bagaimana dengan Indonesia? Analisis iklim World Wildlife Fund for Nature (WWF) menunjukkan bahwa Indonesia mengalami proses pemanasan lebih lambat dibandingkan rata-rata dunia, di daratan bervariasi antara 0,10 -0,30C/tahun. Namun, perubahan iklim dalam dekade-dekade mendatang akan memberikan dampak besar pada sektor pertanian, kehutanan, keanekaragaman hayati, kesehatan, dan dampak akibat kenaikan permukaan laut.

Menteri Kesehatan RI Siti Fadilah Supari menyatakan, terjadinya pemanasan global berpengaruh pada derajat kesehatan manusia. "Hari Kesehatan Internasional yang diperingati pada 7 April tiap tahun dijadikan momentum untuk meminta perhatian masyarakat dunia akan masalah kesehatan yang penting secara global," katanya. Pada 2008, bertema "Menjaga Kesehatan Dalam Menghadapi Perubahan Iklim" (Protecting Health for Climate Change), mengingatkan manusia akan adanya perubahan iklim yang memengaruhi kesehatan penduduk dunia.

Iklim bermakna kehidupan. Perubahan iklim akan diikuti perubahan ekosistem dan tata kehidupan yang bermuara pada perubahan pola interaksi antara lingkungan dan manusia yang berdampak terhadap derajat kesehatan masyarakat.

Jutaan manusia berisiko terkena penyakit di tengah lingkungan yang semakin tidak sehat. Banyak penyakit yang ditimbulkan oleh perubahan iklim akibat pemanasan global, di antaranya kejadian penyakit infeksi dan noninfeksi. Sedikitnya muncul 35 jenis penyakit infeksi akibat perubahan iklim, di antaranya SARS, Avian influenza, Ebola, West Nile Virus, Hantaan Virus, Japanese Encephalitis, serta penyakit infeksi yang baru maupun penyakit infeksi lama yang muncul kembali.

Dampak pada kesehatan publik antara lain tekanan akibat udara panas, kanker kulit, gangguan pada kekebalan tubuh, dan katarak. Perpindahan penduduk, perubahan kawasan pasang surut di sungai, dan kenaikan permukaan laut memengaruhi sanitasi, di antaranya menambah penyebaran kasus tuberkulosis (TB) dan campak. Perubahan iklim juga akan nyata membentuk pola penyebaran penyakit dengan vektor (hewan yang membawa mirkoorganisme patogen) seperti malaria, demam berdarah dengue (DBD), dan chikungunya.

Nyamuk menjadi vektor yang menularkan malaria dan penyakit virus seperti DBD dan chikungunya. Nyamuk membutuhkan genangan air untuk berkembang biak, saat dewasa membutuhkan kondisi yang lembap untuk hidup. Suhu yang hangat meningkatkan perkembangbiakan nyamuk dan mempersingkat waktu pematangan sehingga lebih cepat infeksius.

Selain itu, suhu hangat cenderung meningkatkan perilaku menggigit nyamuk (biting rate). Tubuh nyamuk dewasa lebih kecil sehingga butuh darah banyak untuk bereproduksi.

Sejauh ini, Dinas Kesehatan (Dinkes) Jawa Barat belum melakukan penelitian khusus terkait pengaruh antara pemanasan global dan peningkatan penyebaran penyakit infeksi dan penyakit yang disebarkan vektor seperti flu burung, malaria, demam berdarah, infeksi saluran pernafasan atas (ISPA), dan chikungunya. Namun berdasarkan data, perubahan cuaca dari musim kemarau ke musim hujan atau sebaliknya berpengaruh pada peningkatan beberapa penyakit.

Menurut Kasubdin Penyehatan Lingkungan Dinkes Jabar Dr. Fita Rosemary, M.Kes., saat pergantian musim, curah hujan tidak besar dan menimbulkan genangan air di beberapa tempat. "Di tempat yang panas, telur nyamuk mampu bertahan hingga 6 bulan sehingga saat timbul genangan air, telur memiliki media untuk menetas dan menyerang warga," ujarnya.

Tercatat sejak 2005, ditemukan 17.488 kasus DBD dan merenggut 266 korban jiwa. Kemudian meningkat menjadi 25.871 kasus pada 2006 dengan kasus kematian 283 orang dan 30.720 pada tahun 2007 dengan korban 291 orang. Kasus tertinggi terjadi di Kota Bandung dan Kota Bekasi.

Akibatnya, kasus demam berdarah tertinggi ditemukan antara Januari-Mei dengan jumlah terbanyak di perkotaan, seperti Bandung, Bekasi, dan Depok. "Faktor kepadatan penduduk turut memengaruhi penyebaran penyakit, dengan jarak terbang nyamuk yang mencapai 100 m, seekor nyamuk Aedes aegypti dapat menggigit sampai beberapa orang," jelasnya.

Kepala Seksi Penyehatan Lingkungan dan Permukiman (PLP) Dr. Wahyu R.M. Surya Saputra menambahkan, jika suatu daeran terserang DBD maka dicurigai akan timbul penyakit chikungunya. Hal ini terjadi karena nyamuk yang membawa kedua penyakit ini adalah nyamuk yang sama dengan membawa virus berbeda. "Jika DBD menyerang pembuluh darah dan bisa menyebabkan kematian maka chikungunya menyerang tulang kaki sehingga sendi melemah," katanya.

Sejak 2006, penyakit chikungunya ditemukan secara sporadis di beberapa wilayah di antaranya Kab. Indramayu, Kota Bandung, Kab. Majalengka, Kab. Bandung, dan Kota Depok. Pada 2007, daerah yang terinfeksi penyakit ini pun bertambah, dari 25 kabupaten/kota di Jabar, 13 di antaranya mendeteksi adanya warga yang terserang penyakit ini. Walaupun tidak terdapat korban jiwa, penyakit ini telah menginfeksi 822 orang. Pada Januari 2008, jumlah kasus yang tercatat mengalami peningkatan menjadi 1.174 kasus dengan jumlah penderita terbesar di Kab. Sukabumi dengan 211 kasus.

Perubahan pola hujan memengaruhi penyebaran mikroorganisme penyebab penyakit. Hujan mencemari air dengan cara memindahkan kotoran manusia dan hewan ke air tanah, organisme yang ditemukan antara lain kriptosporodium, giardia, dan Escherichia coli sebagai penyebab diare. Penularan penyakit saluran cerna seperti diare bukan hanya melalui kontaminasi air, tetapi juga dapat meningkat akibat suhu tinggi, melalui efek langsung pada pertumbuhan organisme di lingkungan.

Volume air hujan berlebih mengakibatkan banjir. Oleh karenanya, penyakit menular seperti leptospirosis (akibat kontaminasi air dengan kotoran tikus) dan diare mengintai masyarakat.

Panjangnya musim kemarau mengancam terjadinya gagal panen dan produksi panen menurun. Akibatnya, masyarakat terancam kekurangan pangan dan kelaparan yang mengarah pada terjadinya penyakit dan malnutrisi, berujung pada peningkatan kerentanan individu terhadap penyakit.

Suhu yang lebih tinggi meningkatkan pembentukan polutan udara selain karbondioksida. Gas yang berasal dari pembakaran bahan bakar seperti minyak dan batu bara menambah polusi udara. Paparan polutan memperberat penyakit kardiovaskular dan pernapasan sehingga menyebabkan kematian dini.

Infeksi yang menyerang saluran pernapasan mulai dari hidung, telinga tengah, faring (tenggorokan), kotak suara (laring), bronchi, bronkhioli, dan paru disebabkan virus, bakteri, dan riketsia. Di antara beberapa penyakit yang tergolong ISPA, pneumonia merupakan jenis yang paling mendapat perhatian karena menyerang anak-anak pada usia balita.

Berdasarkan data Dinkes Jabar, jumlah kasus pneumonia menyerang 216.281 balita dengan tingkat insiden 5,19% dan menurun pada 2007 menjadi 4,28% dengan jumlah 195.691 kasus. Kasus pneumonia banyak ditemui di Kab. Karawang, Kota Bandung, Indramayu, dan Kota Cirebon.

Jika memiliki tekad untuk membantu menjaga kesehatan masyarakat, siapa pun memiliki peran mencegah terjadinya efek negatif perubahan iklim akibat pemanasan global terhadap kesehatan. Bersama dokter dan praktisi kesehatan, masyarakat dapat membantu mengurangi dampak secara langsung dengan meningkatkan pelayanan kesehatan primer. Hal tersebut dapat dilakukan dengan pengawasan kesehatan masyarakat, surveilans penyakit dan kontrol program yang lebih baik, vaksinasi sebagai pencegahan, dan edukasi kesehatan kepada masyarakat.

Bagi masyarakat kelas bawah, perubahan iklim dan dampaknya menjadi hal yang jauh dari angan-angan. Padahal, ketika terjadi perubahan iklim, mereka yang paling terkena dampaknya dan lebih menderita.

Dengan perubahan iklim, memaksa terjadinya perubahan pola hidup dan peradaban manusia agar memerhatikan lingkungan dan hal lain yang tidak bertentangan dengan hukum alam.

Mencegah dampak pemanasan global terhadap kesehatan manusia dapat dimulai dengan memelihara lingkungan hidup, dan diawali diri sendiri untuk keberlangsungan kehidupan di masa mendatang.
Sumber :
http://pikiran-rakyat.com

Tidak ada komentar: