Rabu, 09 Juli 2008

Minyak Kelentik / Minyak Kelapa Jadi Obat ?

Dulu emak-emak kita memakai minyak kelapa sebagai minyak goreng, plus minyak rambut si buyung-upik. Namun, begitu minyak sawit datang, era minyak kelapa seolah-olah tamat.

Eh, tiba-tiba saja kini minyak kelapa datang lagi. Bukan sebagai minyak goreng atau minyak rambut, tapi berbaju obat.

Namanya pun lebih keren, virgin coconut oil. Sebagian orang menyingkatnya menjadi vico, lainnya lebih singkat, VCO. Sebagai bahan yang dipercaya dapat menyembuhkan, ia menawarkan banyak kekaguman.

"Sebelum minum vico, saya punya kencing manis dan kolesterol. Tapi setelah minum, kolesterol saya sekarang 190 mg/dl, gula darah sekarang di bawah 140 mg/dl. Dulu saya cepat lelah dan gampang pegal-pegal. Sekarang enggak lagi," ujar Susiawan Tari yang mengaku telah minum vico selama tujuh bulan.

Masih ada lagi, vico pandai menghalau flu, menyegarkan badan, menyembuhkan keputihan, seriawan, dan luka luar. "Sekarang seisi rumah saya memakai vico. Suami, anak, pembantu, semuanya minum vico. Makanya, kotak obat saya isinya sekarang ya vico ini," tambahnya bersemangat. "Efek sampingannya enggak ada. Tapi manfaatnya jelas!"

Begitu cintanya pada kelapa, belakangan ia pun mengubah pola makan-minumnya. "Selain tetap minum vico, sekarang ke mana pun saya pergi, minumnya kelapa muda terus."

Pengalaman serupa juga dialami Benny (55), karyawan perusahaan multinasional. Sebelumnya, kadar gula darahnya pernah mencapai 700 mg/dl. Jauh dari batas normal. Selain itu, pembuluh jantungnya pernah "ditiup" dan dipasangi cincin (stent) di dalamnya.

Biasanya dalam sebulan, ia harus menebus obat-obatan sekitar Rp 2 jutaan. Namun, meski sudah minum obat, setiap bangun pagi dada kirinya masih terasa sesak. Setelah minum vico, ia bisa mengucapkan selamat tinggal pada keluhan sesak di dada. Terakhir, saat check-up, kadar gula darahnya tak lebih dari 160 mg/dl.

Kontroversi lemak jenuh

  • Entasnya minyak kelapa dari wajan goreng ke lemari obat jelas bukan tanpa kontroversi. Pasalnya, kandungan paling besar dalam minyak kelapa adalah asam laurat. Ini golongan asam lemak jenuh (saturated fatty acid).

Sebagaimana diketahui, lemak jenuh selama ini dituding sebagai kambing hitam berbagai masalah kesehatan kardiovaskuler, seperti tekanan darah tinggi dan kolesterol.

American Heart Association (AHA) mengeluarkan "fatwa" bahwa konsumsi lemak tak boleh lebih dari 30% dari total kalori. Sementara asupan lemak jenuhnya tak boleh lebih dari 10%. Hingga sekarang, fatwa itu belum dicabut, dan masih dipakai sebagai pegangan di kalangan ahli gizi.

Memang, minyak nabati tidak mengandung kolesterol, karena kolesterol hanya diproduksi oleh hewan dan manusia. Namun, menurut AHA, konsumsi lemak jenuh yang berlebihan bisa merangsang hati untuk memproduksi kolesterol lebih banyak.

Padahal, kalangan prokelapa menganggap kandungan asam lemak jenuh inilah yang bertanggung jawab terhadap aktivitas minyak kelapa sebagai obat. Murray Price, dokter naturopati penulis buku Coconut Oil for Your Health (diterjemahkan oleh Prestasi Pustaka Publisher dengan judul Terapi Minyak Kelapa) menepis pandangan itu dengan mengusung berbagai penelitian.

Argumen pertama, memang betul komponen utama minyak kelapa (sekitar 92%) itu asam lemak jenuh. Beberapa di antaranya asam laurat (48%), asam kaprat (7%), asam kaprilat (8%), dan asam kaproat (0,5%). Namun, Price berang jika asam-asam lemak ini dipukul rata dimasukkan ke dalam kelompok lemak jahat. Dalam argumennya, ia membedakan lemak jenuh menjadi dua kelompok: rantai panjang dan rantai sedang-pendek. Menurut dia, yang meningkatkan risiko gangguan kardiovaskuler adalah yang berantai panjang (jumlah cincin karbon lebih dari 17). Sumber utamanya adalah lemak hewani.

Sedangkan komponen utama minyak kelapa tidak lain asam lemak rantai sedang. Asam laurat punya 12 atom karbon; asam kaprat 10; asam kaprilat 8; dan asam kaproat 6. Menurut dia lagi, lemak kelas ini sama sekali berbeda. Di dalam usus, lemak-lemak ini mudah diserap karena ukuran molekulnya tidak terlalu besar seperti lemak rantai panjang.

Di dalam peredaran darah, lemak rantai sedang ini segera masuk ke dalam metabolisme energi. Dia tidak ditimbun menjadi jaringan lemak ataupun dimetabolisme menjadi kolesterol. Dalam pencernaan, lemak-lemak ini tidak membebani kerja pankreas, sebagaimana gula-gulaan. Karena itulah, masih menurut Murray Price, minyak kelapa bukan hanya tidak melejitkan kadar gula darah, tapi juga sumber energi yang cocok buat penderita diabetes.

Ibarat bensin, ia bensin beroktan tinggi. Karena nilai oktannya tinggi, ia bisa merangsang metabolisme energi. Salah satu hasilnya, proses ini akan mencegah penimbunan jaringan lemak penyebab obesitas. Karena alasan inilah, vico dipercaya bisa mengatasi problem kegemukan.

Sebagai argumen, Price mengutip studi epidemiologis pada masyarakat kawasan Pasifik. Secara tradisional mereka menjadikan kelapa sebagai makanan utama. Bahkan di wilayah tertentu, konsumsi lemak kelapa bisa sampai 60% dari total kalori. Meski begitu, angka kejadian penyakit kardiovaskuler maupun obesitas pada masyarakat tradisional lebih rendah daripada mereka yang sudah bermigrasi dan menjalani gaya hidup modern.

Antimikroba

  • Di samping bisa mengurangi risiko terjadinya penyakit- penyakit degeneratif, menurut Price, minyak kelapa juga merupakan antibiotik alami yang bisa diandalkan.

Ia pun menguatkan pendapatnya ini dengan mengutip banyak penelitan.

Menurut dia, asam laurat paling poten melawan bakteri dan virus yang membran selnya berlapis lemak (lipid coated microorganism). Di antaranya, bakteri Helicobacter pylori (penyebab tukak lambung), virus influenza, herpes, hepatitis C, cytomegalovirus, bahkan HIV. Sedangkan asam kaprilatnya efektif menghalau jamur kandida (penyebab keputihan pada wanita).

Untuk menguatkan ini, ia menceritakan pengalaman Chris Dafoe, seorang penderita HIV/AIDS asal Indiana, Amerika Serikat, yang sembuh setelah makan kelapa setiap hari. Tak lupa ia pun mengutip hasil penelitian awal Cornardo Dayrit, farmakolog dari University of the Philippines tentang pengaruh monolaurin terhadap virus HIV.

Namun, dr. Zunilda S. Bustami, MS, Sp.FK, farmakolog dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia menggarisbawahi cara mengambil kesimpulan semacam ini. Menurut dia, suatu zat yang punya aktivitas antimikroba di tingkat laboratorium, tidak berarti pasti punya aktivitas serupa saat diminum. Ada banyak faktor yang mempengaruhi. Misalnya saja, zat itu tidak bisa sampai ke tempat kerja yang dituju dalam kadar yang cukup.

Zunilda memberi contoh isoprinosin. Obat ini dalam pengujian laboratorium punya kemampuan menekan pertumbuhan virus. Saking hebatnya penemuan ini, sampai sang penemu mendapatkan hadiah Nobel. Namun, ternyata obat ini gagal sebagai antivirus pada manusia.

"Alkohol 70% juga punya aktivitas antimikroba, tapi kita �kan enggak mungkin minum alkohol untuk mengobati infeksi," katanya menganalogikan. Meski demikian Zunilda membenarkan manfaat minyak kelapa sebagai antiseptik lokal (pemakaian luar).

Tanpa menyangkal bahwa buah kelapa adalah makanan yang baik, Zunilda berpendapat lain. Secara tata krama ilmiah, penelitian-penelitian itu belum cukup dijadikan dasar menjadikan minyak kelapa sebagai obat dalam pengertian kedokteran. "Kalau sebagai jamu, ya monggo saja. Semua orang berhak percaya apa saja. Minum urine sendiri pun silakan," lanjutnya.

Untuk menyimpulkan bahwa kelapa memang bisa menyembuhkan penyakit-penyakit tadi, harus dilakukan uji klinis pada manusia. Tujuannya jelas, untuk memastikan bahwa kesembuhan itu benar-benar disebabkan oleh minyak kelapa. Bukan karena sugesti, faktor kebetulan, atau (dalam istilah Michel de Montaigne, (penulis Prancis yang ucapannya sering dikutip farmakolog) karena doa neneknya.

Dalam pandangan Zunilda, penelitian-penelitian tentang kelapa lebih banyak mengarah kepada fungsinya sebagai nutrisi, bukan sebagai obat. Ia menyarankan, alangkah bagusnya jika riwayat medis para pemakai minyak kelapa ini didokumentasikan. Sehingga, nantinya bisa menjadi case report, bukan sekadar testimoni orang per orang.

Tentang konsumsi kelapa sebagai makanan, Zunilda menambahkan, "Semua jenis lemak sebenarnya kita butuhkan. Kolesterol kita butuhkan. Lemak jenuh pun kita butuhkan." Ia mengambil contoh orang Padang yang terbiasa memasak dengan santan kelapa. "Enggak masalah. Asal jangan kelewat banyak aja," tambahnya. Kalau dijadikan obat, Zunilda berpendapat, "Saya memakai logika saja. Kalau suatu penyakit sudah ada obatnya yang jelas, mengapa kita harus menggunakan sesuatu yang belum jelas," timpalnya.

Walhasil, memang susah jadi orang awam! Jika para ahli bersilang pendapat, kita pun ikut dibuat bingung. Di mana saja, jika gajah bertarung sama gajah, pelanduk memang selalu mati di tengah-tengah. Tolong !

Dari Nutrisi Ke Komoditi

  • Mendengar namanya, mungkin Anda akan membayangkan vico berwarna kuning seperti minyak kelentik yang kita kenal dulu. Sama sekali tidak.

Vico tidak berwarna, juga tidak berasa. Hanya, ia masih mengandung aroma minyak. Namanya juga minyak kelapa.

Bentuknya cair tetapi lebih encer dibandingkan dengan minyak goreng. Ketika diminum, yang terasa hanya aroma minyaknya. Tempo dulu, nenek kita membuat minyak kelentik dengan cara memanaskan santan berjam-jam. Tapi kini dengan sedikit rekayasa teknik, minyak kelapa bisa dibuat tanpa perlu berpanas-panas di depan tungku. Hasilnya, minyak kelapa yang masih perawan dan antitengik meski disimpan selama lima tahun.

Di pasaran ada beberapa produk virgin coconut oil dari produsen yang berbeda-beda. Salah satunya, produk vico yang dihasilkan oleh Laboratorium Kimia-Fisika Universitas Gadjah Mada. Dari etiket di kemasannya, vico ini dianjurkan untuk diminum tiga kali sehari, masing-masing sesendok makan. Jumlah ini kira-kira setara dengan separuh kelapa utuh.

Di AS komponen minyak kelapa ini dimurnikan dan tersedia sebagai suplemen yang diklaim bisa membantu meningkatkan kekebalan tubuh. Di luar urusan pengobatan, vico telah menjadi komoditi ekspor negara-negara tropis penghasil kelapa, termasuk Indonesia. Di industri minyak kelapa ini dimurnikan, selanjutnya digunakan dalam pembuatan produk-produk kosmetik, seperti misalnya sabun dan krim. *

Sumber : www.depkes.go.id

Tidak ada komentar: